Mengapa Anak Tantrum dan Bagaimana Mengelolanya dengan Empati
Halo Ayah dan Bunda, teman seperjuangan Kami dalam setiap fase tumbuh kembang si kecil!
Pernahkah Ayah atau Bunda dibuat bingung saat si kecil tiba-tiba menangis keras hanya karena sendok makannya berwarna biru, bukan merah? Bagi kita, hal itu mungkin terlihat sepele. Namun bagi seorang anak, pemicu kecil bisa menjadi pintu bagi ledakan emosi yang besar. Situasi inilah yang kita kenal sebagai tantrum.
Menghadapi tantrum memang bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, Kami ingin mengajak Ayah dan Bunda untuk menyelami apa yang sebenarnya terjadi dalam diri si kecil saat mereka mengalaminya, dan bagaimana kita bisa mendampingi mereka dengan lebih banyak cinta dan pengertian.
Apa yang Terjadi di Balik Ledakan Emosi Anak?
Bayangkan emosi si kecil seperti air di dalam botol yang terus-menerus dikocok. Mereka belum tahu cara membuka tutupnya secara perlahan. Alhasil, ketika tekanan di dalamnya sudah terlalu besar, yang terjadi adalah ledakan: tangisan kencang, jeritan, hingga berguling di lantai.
Penting untuk kita pahami bersama, tantrum bukanlah perilaku “nakal” atau “manja”. Ini adalah sinyal. Sebuah cara bagi anak untuk menyalurkan stres, frustrasi, atau kebingungan karena mereka belum memiliki kosakata yang cukup untuk mengungkapkan perasaannya. Korteks prefrontal, bagian otak yang bertugas mengontrol impuls dan emosi, pada usianya memang belum berkembang sempurna. Jadi, mari kita lihat tantrum bukan sebagai musuh, melainkan sebagai sebuah pesan.
Faktor Pemicu Tantrum: Lebih dari Sekadar Keinginan
Terkadang kita keliru menganggap tantrum hanya terjadi karena keinginan anak tidak dituruti. Padahal, ada banyak akar masalah yang sering kali tidak terlihat, seperti:
- Kebutuhan Dasar: Rasa lapar, haus, atau lelah yang sering terlewatkan.
- Perubahan Rutinitas: Perubahan jadwal mendadak yang membuat mereka merasa tidak aman.
- Stimulasi Berlebih: Lingkungan yang terlalu ramai, bising, atau terang.
- Frustrasi Kemandirian: Keinginan kuat untuk melakukan sesuatu sendiri (misalnya memakai sepatu), namun kemampuan motoriknya belum mumpuni.
Ketika Ayah dan Bunda melihat si kecil marah karena frustrasi, itu adalah tanda bahwa ia sedang dalam proses belajar menjadi individu yang mandiri.
Cara Menghadapi Tantrum: 5 Langkah Penuh Empati
Daripada berfokus untuk menghentikan tangisnya secepat mungkin, mari kita coba validasi perasaannya terlebih dahulu. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa Ayah dan Bunda terapkan.
1. Ambil Jeda untuk Diri Sendiri
Saat situasi memanas dan Ayah/Bunda merasa mulai kesal, ambil jeda. Tarik napas dalam-dalam. Kita tidak harus langsung bereaksi. Memberi ruang hening sejenak membantu kita merespons dengan lebih tenang dan bijaksana.
2. Berikan Respons Validasi, Bukan Reaksi Spontan
Alih-alih mengucapkan, “Sudah, diam jangan nangis!” yang justru menyangkal perasaannya, cobalah kalimat yang menunjukkan pemahaman, seperti:
“Bunda tahu Adik kesal sekali. Susah ya, kalau kancing bajunya tidak bisa masuk?”
Kalimat ini mengirimkan pesan bahwa kita hadir, melihat, dan memahami kesulitannya. Anak akan lebih cepat tenang jika merasa perasaannya diterima.
3. Tawarkan Rasa Aman, Bukan Paksaan
Beberapa anak merasa lebih tenang saat dipeluk. Namun, ada juga yang menolak sentuhan saat sedang puncak emosinya. Jika ia menolak, jangan paksa. Cukup duduk di dekatnya untuk memberi pesan: “Kami tetap di sini menemanimu sampai kamu tenang.”
4. Tunggu Badai Mereda, Baru Ajak Bicara
Saat anak berada di tengah ledakan tantrum, bagian otak logisnya sedang “nonaktif”. Menasihatinya pada saat itu tidak akan efektif. Tunggulah hingga ia benar-benar tenang, baru ajak ia bicara dengan lembut untuk memproses apa yang baru saja terjadi.
5. Jadikan Momen Belajar Bersama
Setelah suasana kembali tenang, gunakan kesempatan ini untuk membangun kecerdasan emosionalnya. Ayah/Bunda bisa berkata:
“Tadi Adik merasa marah, ya? Rasanya tidak enak ya di dada?”
Ini adalah waktu yang tepat untuk mengenalkan kosakata emosi baru seperti “kecewa”, “sedih”, atau “bingung”.
Refleksi untuk Kita Sebagai Orang Tua
Menghadapi tantrum memang sangat menguji kesabaran. Namun, di sinilah peran kita sebagai orang tua diuji: bukan untuk menjadi “pemadam api” yang menghentikan semua ledakan, melainkan menjadi “pemandu” yang mendampingi anak belajar mengelola perasaannya.
Jika Ayah dan Bunda pernah merasa tidak tahu harus berbuat apa, ingatlah bahwa Ayah dan Bunda tidak sendirian. Kita semua belajar bersama, dari satu momen tantrum ke momen berikutnya.
Kami ingin sekali mendengar cerita Ayah dan Bunda. Yuk, bagikan pengalaman saat mencoba pendekatan ini di kolom komentar! Kami percaya, berbagi cerita dapat saling menguatkan.